Ada yang bilang
"Menjadi wirausaha itu enak". Menurut saya kalimat tersebut salah,
yang benar adalah "Menjadi wirausaha itu enak banget dan tidak enak
banget" .
ENAK BANGET kalau segala urusan lancar, penjualan
meningkat, saldo ditabungan "digit"-nya berderet. Tapi tidak jarang
seorang wirausaha mengalami kejadian yang tidak enak –pakai banget- ;
pembayaran customer telat, tagihan menumpuk, saldo tipis, komplain bertubi-tubi
dan... di datangi Oknum Tentara.
Tanpa bermaksud mendiskredit Pelindung Rakyat
tersebut, melainkan saya sekedar menceritakan apa yang saya alami, tanpa
ditambah-tambahi.
Kami pernah punya pengalaman menghadapi kearoganan Oknum
Tentara. Waktu itu kami baru memulai usaha perdagangan bahan kimia. Ada salah satu customer
yang sudah berbulan-bulan tidak mau membayar tagihan atas pembelian bahan kimia
yang di pesannya. Nilai tagihan sebesar 5 juta rupiah. Sangat lumayan untuk usaha
kami yang saat itu masih tertatih-tatih.
Setelah bosan menagih lewat telepon, suatu hari Suami
mendatangi kantor orang tersebut dan berbicara langsung dengan pimpinannya
mengenai tagihan perusahaan mereka. Selama pembicaraan berlangsung seorang
tentara (yang merangkap menjadi keamanan untuk proyek-proyeknya) terus-terusan
bolak-balik, antara pintu ruang pertemuan dan ruang resepsionis, seperti ayam
yang kehilangan anaknya.
Kunjungan Suami tidak mendapat hasil yang
memuaskan. Tagihan masih belum dibayar juga.
Lalu, beberapa hari kemudian, dengan diantar
seorang SATPAM Perumahan yang terlihat agak takut-takut, datanglah seorang tentara
kerumah kami.
Ketika memasuki teras rumah Tentara tersebut
mengucapkan salam dan bertanya “Permisi, ini rumah Pak Agus?” dengan nada
arogan dan sedikit membentak.
Suami saya dan seorang rekannya yang
kebetulan sedang ngobrol di teras tampak kaget.
Saya yang sedang berada di kamar depan mendengar
suara yang cukup keras tersebut , melongok melalui jendela “Wuihhh, Tentara”
Pikir saya : Ada
masalah apa nih?. Saya pun keluar kamar menemuinya.
Sejak pertama memasuki teras rumah, Saya sudah merasakan
tentara tersebut mencoba menteror mental kami. Ia berbicara dengan volume suara
yang keras. Saya pikir harus bisa mencounter teror tersebut dengan bersikap
ramah seolah welcome dengan
kedatangannya. Menghadapi keramahan kami sikap tentara tersebut sedikit
melunak. Saya persilakan ia masuk ke rumah, memberinya minuman dingin dan
suguhan kue kecil (yang sama sekali tidak di sentuhnya), lalu dengan gaya seolah menawarkan
bantuan, saya tanya tujuan dan maksud kedatangannya.
Dengan arogannya ia mengharuskan kami menerima kembali bahan kimia yang
sudah pernah dibeli oleh customer tersebut. Dengan alasan produknya sama sekali
tidak bisa digunakan. (Padahal, sebelum kasus kredit macet ini si customer
pernah bercerita bahwa produk yang dibelinya memberikan hasil yang memuaskan dan bermaksud
akan membeli lagi dalam jumlah yang lebih banyak).
Ketika berbicara, Tentara tersebut berkali-kali
menekankan kata-kata ” harus..” dan “Pokoknya…”. Saya dengarkan
kalimat-kalimatnya sampai selesai, dengan tatapan mata yang bersahabat dan
mengangguk-angguk seolah setuju dengan ucapannya.
Dengan ramah, Saya tanyakan padanya ” Bapak punya
saham di perusahaan tersebut?”
Jawabnya, “Tidak, Tentara tidak boleh berbisnis”
“Lalu, kenapa Bapak yang kesini? Bukannya Bapak S
sebagai pemesan barang?”
“Bapak S sedang sibuk mengurus proyek di X, saya
dimintai tolong olehnya.”
“Kalau begitu saya mau ajak Bapak diskusi,
sebagai pengayom rakyat, Bapak tentu bersedia diajak diskusi oleh rakyatnya”
Lalu seolah saya sedang curhat,saya katakan
padanya “Pak, coba Bapak bayangkan, usaha kami baru mulai, tentu kami berharap
banyak ketika ada orang yang tertarik dengan dagangan kami sampai kami bersedia
menghutangi.”
“Tapi, setelah lebih dari 3 bulan, padahal
tanggal jatuh tempo sudah sejak 3 bulan lalu, tiba-tiba barang dagangan kami dikembalikan, seharusnya jika memang
tidak bisa dipakai kenapa tidak sejak awal dikembalikan? Saya ‘kan juga harus bayar ke
supplier, gaji karyawan”
Bla..bla..bla…
Alhamdulillah , mendengar kata-kata saya dan
dengan tidak menunjukkan ketakutan maupun resistensi
terhadap kehadiran tentara tersebut, ia mau memahami dan mendengarkan kata-kata Saya. Ia pun tampak menjadi malu karena kesalahan
ternyata ada dipihak Customer kami.
Tak lama kemudian, Ia pamit.
Esok harinya tagihan kamipun dibayarkan.
0 komentar:
Post a Comment