Saat itu, saya sedang duduk di sebuah bangku
semen memandangi bingkai kaca jendela yang didalamnya berderet-deret box bayi
yang baru di lahirkan. Tidak bosan rasanya memandangi box-box inkubator berisi
bayi-kembar saya yang dilahirkan prematur, ada
rasa takjub campur khawatir. Mereka
begitu kecil dan rapuh.
Tiba-tiba serombongan ibu-ibu
penjenguk pasien menghampiri jendela yang sama.
“Ya, ampun, bayinya
kecil-kecil amat. Kayak anak tikus. “
Tunjuk seorang Ibu ke arah box salah satu bayi saya. Sungguh, kalau tidak
sedang masa pemulihan dari operasi caesar , akan saya tonjok ia hingga K.O.
“Mereka bayi saya, Bu.
Prematur. “ Saya harap tatapan mata saya bisa membuatnya menguap. Ibu itu
segera berlalu dengan menggumamkan maaf berkali-kali.
Dilain waktu, saya
ingin menyampaikan berita gembira kepada suami, namun pembicaraan melalui
telepon tersebut malah berakhir dengan pertengkaran ketika suami merespon hanya
dengan “ya...,ya..,.ya…”. Di telinga saya , suami bukan hanya seperti kurang
antusias dengan berita tersebut, tapi juga terdengar terpaksa merespon. Cerita
selanjutnya mudah ditebak. Ketimbang
membicarakan kegembiraan, kami malah lebih sibuk bertengkar. Apakah semata karena kesalahan suami? Pasti tidak.
Ini pasti juga kesalahan saya karena bukan sekali-dua kali suami mengeluhkan
hal yang sama atas perilaku saya. Pada saat ia bercerita dengan penuh semangat,
tiba-tiba berhenti mendadak hanya
dikarenakan saya dianggap keliru bereaksi.
Namun, apa yang disebut
menurut ia, ternyata tidak sama dengan apa yang disebut menurut saya. Itu
sungguh bahan pertengkaran yang tak berujung pangkal. Kami masing-masing merasa
baik-baik saja, tidak bermaksud seperti anggapan pihak lain. Itulah
sesungguhnya pusat bahayanya. Tidak adanya kesamaan antara persepsi yang
diinginkan dan ucapan yang diharapkan.
Saya menangkap persepsi
ibu penjenguk pasien : bahwa bayi saya kecil sekali, karena prematur. Saya mengharapkan
ia mengucapkan sebuah kalimat simpati jika tidak sanggup mengucapkan kalimat
penghiburan. Namun, saya sama sekali tidak mengharapkan kalimat penghinaan
darinya.
Percayalah, ini pasti
bukan cuma menyangkut soal saya saja. Ini pasti terjadi hampir disemua hubungan bilateral manusia. Perbedaan cara berkomunikasi dilatari
perbedaan kebiasaan, budaya, jenis hubungan dan beberapa faktor lain. Bukankah pernah
kita jumpai seorang atasan yang meminta bawahannya melakukan suatu pekerjaan
dengan cara mengahardik? Atau memberikan instruksi melalui selembar kertas,
padahal si pemberi instruksi maupun penerimanya masih bisa saling bicara. Bagi mereka mungkin sudah jamak sikap tersebut, padahal
saya merasa tidak semestinya begitu.
Jadi, seni bicara dan
seni mendengar harus selaras dengan pemahaman akan latar belakang lawan
berbicara . Kemampuan tersebut perlu
selalu kita tingkatkan terus menerus dengan semakin bertambahnya usia, semakin
luasnya relasi dan semakin banyak pengalaman hidup sehingga kita diharapkan
semakin bijak. Semoga, disisa hidup ini , kita tidak sering-sering lagi menyesali kalimat
yang terlontar dari mulut yang menyebabkan pendengarnya sakit hati. Lalu, kita hanya bisa berucap “Aduh, padahal bukan begitu maksudku...,”