Ponselku
berbunyi. Alarm. Rupanya pengingat bahwa hari ini ada undangan yang
kurencanakan untuk kuhadiri.
Rasanya malas
sekali. Aku harus berangkat sendiri (suatu hal yang sudah jarang kulakukan
karena biasanya selalu ditemani suami atau anak atau seorang teman), lokasi
acara lumayan jauh, pada jam 5 sore jalanan bisa dipastikan macet, dan hujan mulai
turun. Lengkaplah alasan yang mendukung kemalasanku untuk tidak menghadiri
undangan tersebut.
Akan tetapi,
entah mengapa akhirnya aku pergi juga karena merasa tidak enak hati kepada
pengundang jika aku tidak hadir. Ada rasa malas untuk
pergi, ada rasa harus pergi. Begitulah aksi tarik menarik, bahkan dalam
keputusan yang tampak remeh dalam
hidup seperti menghadiri undangan-, walau
sejatinya keputusan remeh itu tidak ada. Semua keputusan walaupun tampak kecil
namun memiliki implikasi yang besar pada akhirnya , walau kadang-kadang
kebesarannya tidak selalu terasa karena yang disebut besar atau kecil adalah
sekedar anggapan kita terhadapnya. Sesuatu kita anggap besar kalau ia nyata
didepan mata, menguntungkan dan dalam jumlah banyak pula. Yang kita sebut nyata
itu pun masih sebatas tertangkap panca indera
sebagai ukurannya. Yang abstrak tidak pernah kita sebut nyata. Padahal, betapa
besar dukungan realitas abstrak itu bagi pertumbuhan hidup seseorang. Banyak
yang bertumbuh karena mendapatkan atensi, kemungkinan, kesempatan ,
rekomendasi, promosi dan doa. Semua kata-kata tersebut adalah tidak nyata jika
panca indera adalah ukurannya.
Begitulah, petang
itu aku memutuskan benar-benar pergi menghadiri undangan tersebut. Saat berkendaraan
sendirian, petang beranjak malam, ditingkahi hujan dan laju kendaraan yang
tersendat-sendat karena macet aku bertemu dengan realitas yang menakjubkan.
Aku bertemu
teman. Teman lama. Ia adalah diriku
sendiri.
Saat bertemu kami
mengobrol. Asyik sekali. Karena begitu banyak hal yang kami obrolkan.
Ah, ternyata
jarak kami yang begitu dekat tidak menyebabkan kami sering bertemu. Terlalu
banyak penghalang yang kusebut URUSAN. Celakanya, seringkali urusan-urusan yang
menghalangi tersebut bukanlah urusan yang benar-benar penting. Hanya egoku saja yang memberinya label
penting.
Itulah kenapa, aku
sering lupa menyapa teman terdekat ini.
Sekarang terlalu banyak diri ini dikepung berbagai hal, tidak hanya persoalan
tetapi juga beraneka properti. Ponsel saja dua . Dering sana dering sini. Belum lagi gadget yang terhubung dengan internet sehingga aku
makin disibukkan menyapa rang-orang jauh. Manusia-manusia yang benar-benar
kukenal, setengah kenal bahkan hanya kukenal nama dan lihat gambar sosoknya melalu media karena ia menyandang jabatan Presiden.
Aku begitu sibuk
dengan pribadi-pribadi disekitarku sampai melupakan pribadi terdekat. Diri
sendiri.
Berkendara
sendirian di petang hujan yang macet malah memnjadi ramai sekali karena saya
menemukan teman lama : diri saya sendiri.
*Pri
0 komentar:
Post a Comment