1. Perempuan dan Surga
Dari cerita yang aku dengar, dibeberapa
negara lelaki memiliki kewajiban menjalani wajib militer, sedangkan
perempuan tidak perlu. Ketika ada peperangan maka lelaki wajib maju
berperang, sedangkan perempuan berlindung diwilayah yang aman. Jika
dibutuhkan perempuan akan menjadi perawat untuk mengobati luka atau bekerja di
dapur umum menyiapkan makanan dan minuman bagi tentara.
Lelakilah yang pergi berburu. Merambah hutan-hutan
dan menghadapi bahaya . Tidak jarang pemburu justru dimangsa binatang buas,
tersesat dihutan atau jatuh ke dalam jurang. Tugas
perempuanlah menghidangkan hasil buruan tersebut menjadi sumber protein bagi
keluarga dalam bentuk hidangan yang lezat.
Begitulah tradisi perempuan didusunku.
Persangkaanku dulu mudah saja menjadi seorang
perempuan.
Namun kemudian kusadari ternyata garis
hidupku tidak semudah bayanganku. Meskipun kehidupanku sederhana. Bahkan
terlalu sederhana karena tidak ada hal menarik dalam hidupku.
Aku dilahirkan ibuku 31 tahun lalu. Aku
diberi nama Mutiara. Ada
do’a yang disematkan oleh kedua orang tuaku dalam nama itu. Mereka
berharap kehidupanku akan berkilau seperti sebutir mutiara.
Aku lahir dan besar di Dusun Aruk
berjarak hampir 90 KM dari Sambas ,kota Kabupaten terdekat. Perempuan-perempuan
di desaku tidak banyak yang memiliki kesempatan bersekolah yang
lebih tinggi dari SD. Untuk bersekolah di SMP mereka harus ke
kecamatan Sajingan Besar, 30 KM dari dusunku. Namun karena
kemiskinan orang tuaku, aku tidak memiliki kesempatan bersekolah meskipun hanya
SD. Aku tidak dapat membaca dan menulis. Aku tidak mengenal banyak
hal yang disebut sebagai Ilmu Pengetahuan. Yang kuketahui hanya
membersihkan rumah, membantu Abah dan Uma di ladang.
Bermain di kali bersama teman-teman sambil menangguk ikan
atau ketam. Untuk lauk makan kami nanti malam.
Ketika umurku 14 tahun, Anggah Fatmah
datang. Membawa kabar perjodohan bagiku. Calon suamiku bernama
Zainal, berumur 22 tahun. Seorang buruh pemetik kelapa sawit.
“Ia seorang lelaki yang rajin,
ulet dan tangguh, Muti.”Kata Anggah Fatma.
“Tapi, aku baru 14. Aku tidak
ingin kawin cepat-cepat” tolakku.
Malam itu kuhabiskan dengan menangis.
“Menikahlah dengan lelaki itu.” Uma membelai
rambutku, mencoba menenangkan dengan kasih sayangnya.
“ Uma percaya pada penilaiang Anggah-mu.
Ia adik Abah. Tidak mungkin ia menjodohkan keponakannya dengan lelaki yang
tidak baik”
“Aku belum ingin menikah, Uma” Bagaimana
mungkin aku menikah dengan lelaki yang tidak kukenal. Lelaki yang
belum pernah kulihat bahkan namanya pun baru kudengar petang tadi.
Uma menghela nafas, menatapku dengan sedih.
”Bila kau tolak perjodohan ini, Uma khawatir
keluarga lelaki itu merasa sakit hati. Kau bisa dibikin mereka
menjadi perawan tua”. Ibuku menggeleng kuat-kuat.
”Aku tak mau hal itu terjadi padamu, Nak. Aku tidak bisa menanggung aib itu.” Kulihat Uma bergidik.
”Aku tak mau hal itu terjadi padamu, Nak. Aku tidak bisa menanggung aib itu.” Kulihat Uma bergidik.
”Jadilah anak shalehah dengan tidak
memberikan aib kepada orang tuamu. Pesan Uma sebelum meninggalkan kamarku.
Aku tergugu.
Beginilah aku. Perempuan dusun tanpa
pendidikan atau kepandaian. Aku tidak bisa menentukan sendiri kapan saat yang
tepat bagiku untuk menikah. Aku tidak bisa memilih siapa suamiku,
yang dengannya akan kujalani hidup puluhan tahun kedepan.
Menjadi perempuan di dusunku berarti menjadi
manusia dengan hak-hak yang tereliminasi. Para
perempuan harus rela jika tersingkir dari keutamaan. Seorang ibu
yang belum melahirkan anak lelaki akan terus melahirkan hingga terlahir bayi
lelaki sebagai pewaris nama keluarga. Penerus kepemilikan ladang-ladang dan
kebun-kebun mereka berikutnya.
Bila sebuah keluarga menghadapi kemiskinan
maka anak lelakilah yang akan mendapat kesempatan terbaik lebih dahulu,
sementara anak perempuan harus menerima saat mereka dibiarkan menanggung
penderitaan. Salah satu jalan untuk melepas tanggungan keluarga terhadap
anak-anak perempuan adalah dengan menikahkan mereka sesegera mungkin, begitu
anak-anak tersebut mendapat haid pertama.
Ustadz Hamdan guru mengajiku pernah mengutip
perkataan Rasulullah “Perempuan shalehah lebih baik dari 1000 lelaki shaleh.”
Ibuku menginginkan aku menjadi anak shalehah.
Perempuan shalehah.
Tapi, mengapa jalan yang ditunjukkan kepadaku
untuk menjadi perempuan shalehah begitu berat? Apakah hanya kepatuhan absolut
adalah satu-satunya jalan untuk menjadi perempuan shalehah? Apa yang akan
terjadi padaku jika ternyata lelaki yang disodorkan untukku itu tidak dapat
mengantarkan aku menuju Surga?.
Beberapa minggu kemudian beberapa orang kerabat
calon suamiku datang ke dusunku. Basasuluh, kata Abah. Mencari tahu
tentang diriku.
Disusul Badatang sebulan kemudian.
Lamaran, membicarakan mas kawin dan waktu pelaksanaan pernikahan.
Aku masih ingat dengan jelas, di suatu hari
Kamis pada bulan Dzulhijah aku dinikahkan. Dalam sebuah acara
sederhana yang hanya dihadiri keluarga dan beberapa tetangga dusunku. Tidak ada
makanan berlimpah. Mas kawin yang diserahkan sebentuk cincin seberat 2 gram dan
uang beberapa ratus ribu rupiah. Keluarga calon suamiku ternyata
sama miskinnya dengan kami.
Saat menyematkan mas kawin ke jari manisku,
kulirik wajah lelaki yang kini telah resmi menjadi suamiku. Tergambar jelas
kegamangan dalam sorot matanya. Ia tidak berani menatap mata pengantin
perempuannya.
Seketika aku merasa kelu. Seakan jantungku
tersayat sembilu. Ada
rasa tertolak dalam diriku. Aku merasa diriku begitu kecil dan rendah. Tak
berharga. Sia-sia.
Aku menjadi pengantin yang tidak dikehendaki.
Aku menundukkan kepala dalam-dalam. Bukan
karena begitulah seharusnya pengantin perempuan bersikap, namun karena aku
menyembunyikan air mata.
Akulah pengantin yang meneteskan air mata
dihari pernikahannya. Bukan karena terharu bahagia menempuh hidup baru. Namun
karena aku menjadi pengantin yang terpinggirkan dihari pernikahannya.
Tiba-tiba Uma yang duduk disampingku
membisikkan sesuatu. Aku harus mencium tangan suamiku. Tanda bakti seorang
istri terhadap suaminya.
Saat menerima uluran tangan Zaenal, kutatap
matanya dengan selarik sinar harapan. Sinar yang sedemikian lemah sehingga akan
padam dengan sehembusan angin. Aku ragu, harapan apa yang bisa
kutumpukan pada orang yang tidak menghendakiku sebagai istrinya?
Tiba-tiba ia tersenyum. Aku terkejut membaca
ketulusan dalam senyumannya. Kucium punggung tangan yang terulur lengkap
dengan senyuman tulusnya.
Lalu kesedihanku lenyap. Aku
merasa bisa menambatkan harapan dipundak suamiku ini.
Maka demikianlah, hari itu kami menjelma
menjadi sepasang suami –istri. Kujalani pernikahan dini ini dengan iklas.
Kulahirkan anak-anakku satu persatu. Intan, Ahmad dan Iskandar.
Perasan keringat dan darah kami kerahkan agar
bisa menjadikan anak-anakku sebagai penghantar jalan kami menuju surga kelak.
Bersambung ….
Fiksi
lainnya:
0 komentar:
Post a Comment