- Bakat
Miskin
Kami hidup ditengah-tengah rimba yang subur . Segala
macam buah dan sayur tumbuh diladang kami. Ikanpun tersedia melimpah di sungai. Kami
tidak pernah kekurangan air jernih yang mengalir hingga sudut-sudut dusun.
Aku pernah dengar dari radio Abah,
tempat tinggalku disebut Jamrud Katulistiwa.
Namun keindahan Jamrud Katulistiwa
tersebut kini hanya menjadi dongeng pengantar tidur. Kesejahteraan
penduduk asli dusun ini menghilang saat ribuan ton emas didulang dari
sungai-sungai. Meninggalkan cemaran merkuri yang mematikan ikan, ketam, udang
dan lain-lain.
Isi perut bumi desa kami dikeruk
habis-habisan oleh Perusahaan Pertambangan Batu Bara dan Perusahaan
Minyak. Menyisakan ratusan lubang-lubang menganga dan cemaran minyak
di hulu-hulu sungai.
Hutan-hutan yang dulu menyediakan makanan
berlimpah dalam bentuk sayuran, buah dan binatang buruan kini berubah menjadi
perkebunan kelapa sawit. Tanah adat kami entah bagaimana tiba-tiba
dikuasai orang asing yang tidak kami kenal, karena ia berasal dari negeri antah
berantah.
Sepanjang ingatanku, aku terlahir dan hidup
dalam kemiskinan. Abah-Umaku miskin. Begitupun Kai dan Nini kedua
orang tuaku. Bisa jadi Datu kamipun miskin.
Entahlah, apakah kemiskinan diwariskan dari
generasi ke generasi berikutnya?
Karena telah menikah maka suamiku harus
pindah dari barak pekerja. Dengan sisa tabungannya, ia membeli sebidang tanah
seluas 100M2 dekat lokasi perkebunan tempatnya bekerja. Dibangunnya
sepetak rumah terdiri dari 3 kamar , ruang tamu merangkap ruang
makan, dapur dan kamar mandi. Meskipun tanpa perabotan
yang indah, namun inilah istanaku. Tempat dimana aku menjadi
ratunya.
Namun istana ini mengurung kami. Kami
tidak pernah melihat apa-apa selain langit, rumput dan jajaran pohon kelapa
sawit. Kerabat kami adalah para buruh-buruh perusahaan dan keluarga mereka.
Untuk mencapai pasar terdekat kami harus
menumpang traktor perkebunan. Jaraknya 20KM dari rumah kami. Sehingga
selain padi dan sayur dari ladang, kami kesulitan mendapat
barang-barang kebutuhan lain seperti sabun, gula,kopi, bahkan minyak sayur.
Untuk menambah penghasilan karena
hasil upah sebagai pemetik kelapa sawit sering kali tidak mencukupi biaya hidup
kami berlima. -Terutama untuk biaya sekolah anak-anak dan pengobatanku.-
Suamiku juga berladang di tanah kami yang sempit itu serta mencari
pekerjaan apapun yang membutuhkan tenaga lelaki.
Namun karena nyaris semua tetangga kami
adalah juga orang yang kekurangan, maka sering kali tenaga suamiku dibayar
dengan beberapa ikat padi, pisang atau seekor ayam.
Padahal yang kami butuhkan adalah uang.
Aku tidak menyesali perkawainan ini. Aku juga
tidak menyalahkan suamiku yang ternyata ditakdirkan menjadi jodohku.
Namun aku menjadi sedih ketika ternyata garis hidupku tidak memberikan pilihan
lain untuk kujalani.
Aku meyakinkan kepada diriku sendiri bahwa
tidak akan kuwariskan kemiskinan ini kepada anak-anakku dan
keturunanku berikutnya. Tidak akan kutempatkan anak-anakku dijalur kemiskinan
yang telah aku lalui. Cukuplah ayah dan ibu mereka yang pernah melaluinya.
Dengan segenap daya kemampuanku, akan kubuka
jalur kehidupan baru yang berbeda bagi mereka. Akan kuantar anak-anakku menuju
pintu itu, menuju jalur yang jauh dari segala kemiskinan yang hanya berisi
penderitaan semata.
Itulah janji seorang ibu kepada anak-anaknya.
Bersambung….
Fiksi
lainnya:
0 komentar:
Post a Comment