3. Aku
Seorang Pelajar
Namaku Intan.
Aku terlahir sebagai anak pertama dari 3
bersaudara. Adik-adikku lelaki, Ahmad dan Iskandar. Sekarang usiaku 16 tahun. Aku
bersyukur hingga saat ini aku masih berstatus pelajar SLTA. Tidak
seperti Uma yang saat seumur denganku sudah menimang seorang anak.
Aku dan adik-adikku bersekolah di
sebuah kota
kecamatan, Sajingan Besar. Kurang lebih 30 KM dari dusunku. Kota kecil ini
dikelilingi oleh perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara .
Penduduknya terdiri dari berbagai macam suku seperti Madura, Jawa,
Bugis, Cina dan Banjar.
Mata pencarian penduduk adalah pedagang atau
buruh perkebunan dan pertambangan. Hanya sedikit sekali yang menjadi petani.
Karena nyaris semua lahan disekitar kami dikuasai perusahaan. Penduduk hanya
memiliki lahan sempit sekedar cukup mendirikan rumah dan tanah pekarangan. Sepengetahuanku
tidak ada tetanggaku yang memiliki ladang, kebun atau lahan
persawahan yang luas.
Orang-orang bilang tanaman kelapa sawit
“rakus air”. Tanaman-taman tersebut akan menyedot habis mata air - mata air
disekitarnya. Bahkan sungai-sungaipun akan surut bila terletak dekat dengan
perkebunan kelapa sawit. Kecuali rumput, sangat susah tanaman lain tumbuh subur
di areal sekitar perkebunan. Tanaman sayur dan buah
(seperti jambu, nangka, belimbing dan kersen) yang Uma tanam di pekarangan kami tumbuh
kurus-kurus. Hanya karena Uma rajin menyiram dan memberi pupuk
kandang maka tanaman tersebut masih bertahan hidup.
Untuk berangkat ke sekolah kami harus
berjalan kaki. Kontur tanah yang berbukit dan berlembah menyebabkan perjalanan
selama 5 jam lebih itu semakin menguras energi. Belum lagi kami
harus siap menghadapi berbagai gangguan disepanjang perjalanan.
Gangguan–gangguan tersebut seringkali adalah
binatang-binatang liar seperti monyet, ular, buaya rawa, babi atau anjing liar.
Untuk itu kami harus selalu waspada di setiap langkah. Jangan sampai tidak
sengaja menginjak kalajengking atau ular yang sedang melata.
Gangguan lain yang lebih berbahaya adalah
para perampok . Sasaran mereka sesungguhnya adalah para pedagang dari pedalaman
yang membawa uang untuk kulakan ke kota .
Namun kami juga sering menjadi korban mereka. Meskipun harta yang kami bawa
nyaris tidak bernilai, hanya bekal bahan makanan yang tidak seberapa serta
alat-alat sekolah. Mereka menjarah kami tanpa ampun. Bahkan sering kali dengan
kekerasan.
Tanpa kasihan, mereka memukuli kami yang
masih anak-anak. Padahal kami tidak punya potensi melawan.
Dengan seiring pertumbuhan badan kami yang
mulai remaja, Uma dan Abah kini melarang kami berjalan kaki ke sekolah. Kekhawatiran
mereka terutama disebabkan sekarang aku menjelma menjadi seorang gadis.
Kami tempuh cara lain untuk mencapai sekolah,
yaitu dengan menumpang truk pengangkut kelapa sawit. Diatas bak truk kami harus
mengatur posisi duduk diantara tumpukan-tumpukan sawit. Tak jarang kami duduk
di atap kepala truk jika muatannya penuh. Cara yang berbahaya,
sesungguhnya. Namun kami tidak memiliki pilihan lain yang lebih baik.
Berbeda dengan perjalanan menuju sekolah
dimana truk pengangkut selalu penuh terisi muatan, perjalanan pulang diakhir
minggu lebih nyaman. Truk lebih sering kosong tanpa muatan. Sehingga
tidak jarang kami tertidur kelelahan dengan beralaskan terpal di
dalam bak truk.
Sesungguhnya sopir truk sering kali menawari
aku duduk didalam ruang kemudi. Aku pernah sekali menerima tawaran
tersebut, kupikir aku akan nyaman duduk disitu. Namun keputusan tersebut
benar-benar salah. Karena sepanjang perjalanan aku harus menghadapi rayuan dan
keisengan Pak Sopir. Aku kapok. Lebih baik duduk didalam bak diluar sana sekalipun harus
terpapar terik matahari dan debu.
Menumpang truk bukan berarti gratis. Kami
harus membayar 10.000 rupiah perorang. Sesungguhnya nominal yang tidak seberapa
mengingat jarak dan kondisi jalan yang rusak parah. Sopir truk harus seorang
pengemudi yang handal. Tidak jarang truk tergelincir atau
terperosok di lubang yang cukup dalam.
Oleh karena jauhnya perjalanan, kami dititipkan
Uma dan Abah di rumah pengurus sekolah. Indekos. Kami menempati sebuah kamar berdinding
dan beralaskan papan. Biaya perbulannya 100.000 rupiah untuk kami
bertiga.
Masing-masing kami mendapat sebuah kasur
lipat tipis dan sebuah kotak kayu buatan Abah. Untuk menyimpan
barang-barang kami.
Barang –barangku tidak banyak. Hanya 2 pasang seragam
sekolah yang kupakai bergantian (yang sepasang dipakai, sepasang lain dicuci),
sepasang pakaian ganti untuk diperjalanan , peralatan sekolah, serta bekal
bahan makanan untuk seminggu.
Setiap minggu, Uma memberikan kami bekal 2
kg beras, 9 butir telur , 10 bungkus mie instan, beberapa ikat bayam
atau kangkung serta beberapa jenis bumbu dapur seperti bawang merah , bawang
putih , cabe dan garam.
Sebelum berangkat sekolah aku memasak. Dengan
tungku batu bata disamping kamar kami. Aku harus pandai mengatur menu untukku
dan adik-adikku. Mie instan untuk sarapan- setiap pagi kumasak 2
bungkus mie untuk dibagi kami bertiga. Hari Senin dan Selasa kami makan dengan
lauk sayur . Karena setelah Selasa biasanya sayur-sayur tersebut
sudah terlalu layu untuk dimasak. Hari Rabu, Kamis dan
Jum’at menu kami nasi dan telur ( yang kadang-kadang
diganti Uma dengan ikan kalengan jika Abah mendapat upah cukup banyak). Makanan
untuk hari Sabtu biasanya tergantung dari apa yang tersisa. Untuk sarapan tak
jarang kami hanya makan sedikit nasi putih beserta air rebusan bawang merah dan
garam. Tidak ada makan siang di hari Sabtu karena sepulang sekolah kami
langsung menuju pangkalan truk. Kami harus menahan lapar hingga tiba
di rumah dan berharap Uma memasak makanan yang lezat bagi kami.
Meskipun kami tidak kelaparan, namun jatah
makanan tersebut tidak pernah benar-benar mengenyangkan kami. Nasi
dan lauk selalu sudah habis saat perut masih perlu diisi.
Antara lapar dan kenyang.
Tak jarang Iskandar menangis meminta tambah
nasi atau lauk karena jatahnya sudah habis lebih dahulu. Aku yang tidak tega
mendengar rengekannya terpaksa memberikan sebagian jatahku. Akibatnya aku harus
menahan lapar lebih lama hingga waktu makan berikutnya.
Aku tidak pernah menyesali Uma yang terlalu
sedikit memberi bekal kami. Karena aku tahu segala yang diberikan kepada kami
adalah yang terbaik yang dimiliki Uma dan Abah.
Tidak jarang di hari Minggu,
pagi-pagi sekali Abah pergi. Entah untuk membantu tetangga membuat
sesuatu atau menjual telur ayam peliharaan Uma atau
buah-buahan yang tumbuh di pekarangan rumah kami.
Pernah secara tidak sengaja aku lihat sepulang
dari bepergian Abah merogoh saku celananya lalu menyerahkan ke Uma. Tampaknya
uang. Karena tidak lama kemudian Uma memanggil kami –ketiga anaknya- lalu
memberikan uang tersebut untuk ongkos truk.
Kami menyaksikan bagaimana usaha keras Uma
dan Abah menyekolahkan kami. Abah sudah memeras keringat dan
darahnya demi memberikan bekal kehidupan yang lebih baik buat kami. Bahwa apa
yang dihasilkannya selama ini tidak benar-benar memadai bagi kehidupan kami,
itu adalah soal lain.
Aku menyayangi dan mencintai kedua orang
tuaku lebih dari apapun. Aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak
mengecewakan mereka atas segala yang telah mereka perjuangkan. Aku belajar
keras di sekolah.
Aku bertekad akan membuat bangga Abah dan Uma
Bersambung...
---
Fiksi
lainnya:
0 komentar:
Post a Comment