4. Tas
Merah Muda
Sepanjang ingatanku,
selama 11 tahun bersekolah , sejak SD hingga kelas 2 SLTA sekarang, aku
hanya memiliki 2 buah tas sekolah. Tas pertamaku dibelikan Uma saat
aku akan masuk SD. Tas ransel hitam bergambar tokoh kartun Micky
Mouse. Tas keduaku terbuat dari kain flanel berwarna merah muda dengan 2 buah
kantung di bagian depan dan belakang berhiaskan bordiran bergambar
bunga berwarna kuning. Tas ini kubeli saat aku duduk dibangku kelas 3 SMP.
Beberapa
temanku yang cukup beruntung memiliki orang tua yang berprofesi sebagai pegawai
tidak pernah perlu pusing memikirkan bagaimana caranya mengupayakan agar segala
fasilitas belajarnya terpenuhi. Tiap tahun ajaran baru mereka telah siap dengan
setumpuk buku-buku serta peralatan sekolah baru. Tidak jarang dihari pertama
sekolah adalah ajang memamerkan perlengkapan sekolah, entah karena model yang
sedang ‘ngetren atau karena mereknya yang menunjukkan barang tersebut
berharga mahal. Sehingga tidak semua murid bisa memilikinya. Terutama aku.
Aku
tidak pernah iri kepada mereka. Karena aku tahu pasti, Abah dan Uma telah
berusaha memberikan segala yang terbaik yang bisa mereka berikan kepada kami.
Namun, kemiskinan rupanya masih enggan beranjak dari kehidupan kami.
Kesadaran
betapa akrabnya kami dengan kemiskinan kuperoleh karena kepedihan yang
kutanggung untuk mendapatkan tas merah-mudaku.
Aku
tidak paham arti dan definisi kemiskinan, tapi aku mengalaminya. Tidak kumiliki
kalimat yang tepat untuk mengartikannya. Lebih mudah bagiku untuk menjadikannya
sebuah cerita dengan mengungkapkan segala yang kualami.
Pertama,
kemiskinan agaknya paling sering mendekatkan seseorang dengan
rasa lapar. Barangkali aku terlalu akrab dengan lapar
sehingga nyaris kulupakan kenyang. Karena hampir tidak pernah
kuperoleh kesempatan untuk mendapatkannya.
Jika
kalian memiliki sahabat tentu kalian pernah begitu dekat lebih dari biasanya.
Nah suatu ketika aku harus mengakrapi rasa lapar itu berlipat ganda,
menjadikannya serupa sahabat sejati dengan keterkaitan satu dengan lainnya.
Suatu
hari sepulang sekolah aku berjalani menemani temanku, Khadijah, menuju pasar.
Dia bermaksud membeli beberapa peralatan sekolah. Dengan mudah ia membeli
barang ini dan itu, dari satu toko ke toko lainnya. Sementara tidak
ada satupun barang yang kubeli. Aku tidak memiliki uang. Bahkan sebatang pensil
seharga 500 pun masih terlalu mahal untukku. Maka aku hanya mengekor
Khadijah dan melihat-lihat saja barang-barang yang dipajang di etalase.
Lalu
disebuah toko kulihat tas merah muda itu.
Masih
berselimut plastik transparan.
Melihat
mataku lekat memandangi tas itu, pemilik toko menurunkannya dari gantungan di
langit-langit dan menawarkan kepadaku.
“Tas
ini baru datang kemarin siang. Selain kantung di depan dan dibelakang ini, ada
juga kantung didalamnya, sehingga kau bisa menyimpan peralatan menulismu
disitu” Bapak pemilik toko berpromosi.
“Benarkah?”
aku pun meraih tas itu, tapi aku tidak berani membuka plastik pembungkusnya ,
karena aku tahu saat itu aku tak memiliki kemungkinan untuk
membelinya. Aku hanya memantas-mantaskannya dengan menyampirkan tas
itu di pundakku.
“Jadi,
kau akan membeli tas ini?” Tanya Bapak penjual.” Harganya 50.000.”
Aku
menggeleng.
“Tidak.
Aku tidak membawa uang.” Kataku
Aku
tidak berbohong. Aku mengatakan yang sesungguhnya, bahwa aku tidak membawa uang
karena tidak ada serupiahpun di sakuku. Bahwa aku tidak membawa uang karena
tidak memilikinya, aku tidak perlu mengatakan kepada seorangpun.
Kuulurkan
tas itu kepadanya. Ada rasa
enggan didalam diriku untuk melepaskan tas tersebut dan membiarkannya kembali
kepada pemiliknya. Ada tarikan
kuat, suatu hasrat ingin mempertahankan tas itu dalam genggamanku.
Tapi
bagaimana caranya? Serupiahpun aku tak punya sebagai penebus tas itu.
Maka
kubiarkan ia kembali menggantung di langit-langit toko.
Sejak
hari itu, ingatanku kepada tas merah muda dengan bunga kuning sebagai pemanis
nya, tidak pernah lekang. Terpatri lekat sehingga aku tidak memiliki cara
melepaskannya.Semalaman aku berpikir bagaimana cara memiliki tas itu.
Sayangnya,
aku tidak mungkin meminta uang tambahan pada Abah dan Uma. Karena
dengan penghasilan Abah saat ini sering kudengar Uma mengeluh betapa makin
tidak cukup menutupi kebutuhan hidup yang kian mahal.
Menjelang
pagi kutemukan cara untuk mendapatkan tas impianku. Memang tidak
segera. Tapi aku yakin bahwa aku akan bisa membelinya suatu saat nanti. Saat
rencanaku berhasil dan uang yang kuperoleh mencukupi harga pembelinya.
Harga
tas itu 50.000 rupiah. Bila Abah memiliki uang biasanya aku mendapat uang saku
tambahan sebesar 10.000 perminggu. Namun jika mengharapkan dari uang saku
tersebut aku tidak yakin tas itu masih bertahan tergantung disana selama 5
minggu.
Aku
bertekad akulah yang akan menjadi pemiliki tas merah muda itu. Aku
sadari betul, akan ada pengorbanan yang harus kulalui untuk meraihnya.
Bersambung....
Fiksi
lainnya:
0 komentar:
Post a Comment