11
tahun lalu suami memboyong kami bermigrasi ke Tangerang dari Rawamangun.
Sebenarnya saat itu, ingin rasanya menolak ajakan pindah dan tetap
bertahan di rumah orang tua. Saya memilih tinggal di rumah orang tua
karena banyak gratisan dan tersedia bala bantuan terutama setelah saya
melahirkan ( :D) .Keengganan pindah ke Tangerang
karena dalam bayangan saya : hadeuh, Tangerang ‘kan banyak pabrik, polusi, jalanan sempit
dengan truk-truk kontainer? Apa nyaman tinggal dengan suasana seperti itu?
Bayangan tersebut didapat dari hasil pengamatan selama saya beberapa kali
(puluhan atau ratusan kali deh) mengantar atau menjemput Suami dari dan ke
kantornya di Curug -Tangerang
Namun Suami menyanggah,” Enggak koq, perumahannya enak (enak? Rasa
stroberi atau duren?).
Deket pinggir tol.”
Hah,
pinggir tol? Polusi dong. Tapi,sudahlah. Namanya
istri, dibawa suami kemana saja yah harus mengikuti.
Alhamdulillah, ternyata janji Suami tidak meleset. Meskipun berada
di pinggir tol Jakarta- Merak suasana perumahan kami cukup nyaman. Karena
banyak pohon udara terasa bersih. Suasananya pada pagi hari sering membuat saya
mengira sedang berlibur di Puncak. Hanya bedanya, kalau di Puncak kami tidak
akan sering kaget -hingga rasanya terpelanting- saat mendengar dentuman ban meletus
dari sebuah truk besar yang sedang nahas. Hal lain yang “asik” dari komplek
perumahan ini adalah kami masih bisa berinteraksi dengan tukang sayur, tukang
bakso dan penduduk kampung sebelah komplek.
Akrabnya
interaksi kami dengan beberapa orang kampung (itu sebutan mereka sendiri loh
untuk membedakan dengan “orang komplek”) menyebabkan saya mudah
memperoleh personel jika butuh tenaga bantuan. Membersihkan rumput
halaman, cuci-setrika ,antar jemput ke pasar bahkan tenaga kerja musiman saat
produksi usaha kami meningkat . Kamipun sering mendapat undangan acara
pernikahan atau sunatan dari mereka.
Suatu hari saya di tegur salah seorang dari mereka ” Bu Agus, koq
kemarin ‘gak kondangan? Mila’kan nikah, Bu”
“Mila
mana?” tanya saya sambil berpikir keras. Karena nama Mila ada beberapa orang.
Karmila, Sarmila, Milana.
“Mila,
anaknya Abah Atep”
“Oh.
Gak ‘ngundang sih.” Alasan saya ” Kalau gitu saya “titip” angpau
aja deh. Bilangin ke Abah, saya minta maaf gitu yah. Gak tau kalo beliau
‘ngundang”. Lalu saya buru-buru mengambil amplop merah dan mengisinya
dengan selembar uang. Selama tinggal di Tangerang
kami selalu punya persediaan amplop yang disebuta angpau ini karena
saking sering kondangan, terutama di bulan-bulan tertentu.
“Masa’
dari sini gak kedengeran suara petasannya? Ya udah nanti saya sampein
deh amplopnya.”
Saya
cerita obrolan tadi ke khadimat yang sedang mencuci, dia menjelaskan,
“Iya,
Bu. Petasan Cabe rawit dipasang kalau ada nikahan. Siapa aja yang ‘ngedenger
suaranya artinya diundang datang. “
Weleh!
Cerita
undangan unik lain terjadi pada Jum’at kemarin. Saat menuju pangkalan ojeg,
saya dicegat oleh seorang Ibu.
“Bu
Agus, saya mau ‘ngundang. Sabtu besok anak saya -si Malik- mau sunatan.
Datang yah.” Kata Mamak si Malik sambil mengulurkan bungkusan plastik berisi 5
buah permen. Karena sudah beberapa hari saya batuk lumayan parah bahkan hingga
suara sempat menghilang, uluran permen tersebut saya tolak.
“Insyaa
Allah, saya datang Bu. Terima kasih permennya tapi saya sedang batuk.” Kata
saya sambil memegang leher (agar mendramatisir..hehehe)
“Kalo
begitu, Ibu Agus mau blao aja?” Mamak si Malik mengulurkan sebungkus
pewarna biru untuk pakaian.
Hah!
Barang antik nih, pikir saya. Tapi buat apa, saya tidak pernah lagi memakai
benda seperti itu. Sayapun kembali menggeleng. Mamak si Malik-pun berlalu dari
hadapan saya dengan muka bertekuk. Tidak seramah saat baru bertemu tadi.
Karena bingung mengapa Mamak Malik tiba-tiba menjadi
"jutek’ , sayapun menceritakan pertemuan dan percakapan kami tadi
dengan khadimat yang penduduk kampung secara turun temurun.
“Yaiyalah
Bu. Pantesan aja Mamak Malik marah. Itu artinya Ibu menolak undangan
dia.”
Loh koq? Kan
tadi saya bilang InsyaAllah datang ke acaranya.
“Iya,Bu.
Kebiasaan disini kalau dikasih permen atau blao ama orang yang mau pesta
sunatan, artinya kita diundang dan kudu dateng”
Oalah!!!
Meneketehe.Hehehe….
Kesimpulan, diberi apapun oleh tetangga tidak boleh nolak.
Meskipun jika tidak akan kita makan atau pakai pemberiannya tersebut,
agar tidak mengecewakan si pemberi yang sudah berniat baik.
Sumber gambar: kurakuraninja
2 komentar:
hahahahah maap numpang ngakak makk
Emak Shinta..jangan gede-gede mangap nya loh...
Post a Comment