Hari Pertama di KL.
Setelah
penerbangan selama 2 jam, pesawat Malaysia Airline ,MH 710, dari Jakarta
mendarat dengan mulus di KLIA. Jam dipergelangan tanganku menunjukkan pukul
13.15. WIB. Segera kumajukan jarum jam 60 menit lebih cepat, mengikuti waktu
setempat. Aku tidak merasa perlu tergesa-gesa turun dari pesawat karena kali
ini aku terbang ke KL berdua dengan Apin yang baru berumur 6 bulan.
Saat
menapaki garbarata kunyalakan ponsel dan segera bertubi-tubi SMS masuk. 2 dari
provider celular Malaysia yang menyambut kedatanganku dengan suka cita karena mulai
saat itu hingga kembali ke tanah air pulsaku akan dialihkan ke mereka, 1 SMS dari
Ibu yang memintaku berhati-hati selama di Malaysia, dan 2 SMS dari suami. 2 SMS
terakhir membuatku terbengong-bengong selama beberapa saat.
Kebiasaan
suami adalah mengirimkan SMS pendek-pendek, malah sering kali hanya berisi 1
kata.Jadi aku bisa paham dengan isi SMS pertama ini: Ma, maaf banget ya , Papa jadi berangkat ke off-shore siang ini. Seminggu. Pemberitahuannya
mendadak. Mama nginep di hotel depan kantor saja. Papa sudah booking.
SMS
kedua berisi alamat hotel yang terletak di Jl. Sultan Ismail, sekitaran Medan
Tuanku.
Kedatanganku
di Kuala Lumpur kali ini bukan untuk pertama
kali, sudah beberapa kali kutelusuri sudut-sudut kota ini baik sendirian maupun bersama suami.
Namun ini adalah pengalaman pertama travelling
ke luar negeri hanya berdua dengan seorang bayi 6 bulan. Sempat terpikir ingin balik badan saja. Pulang lagi ke Jakarta.Tapi
saat ingat sayang uang yang sudah terlanjur dibayarkan untuk sewa hotel dan
tiket pulangpun pasti kena potongan
andai dibatalkan, akhirnya kuputuskan: Yo,wis lah. Sudah kadung sampai KL. The show must go on.
Menaiki KLIA Express aku dan Apin menuju KL Sentral , lalu dilanjut dengan naik
monorel menuju Medan Tuanku lalu jalan kaki sekitar 5 menit ke hotel. Sejak
awal aku tidak merencanakan adanya jadwal blusukan
di KL pada hari pertama karena mempertimbangkan kondisi Apin yang tentu
kelelahan setelah perjalanan cukup jauh bagi bayi 6 bulan ini.
Hari Kedua.
“Pin,hari
ini kita ke Batu Cave dan Genting yuk.” Apin yang sedang kususui hanya menatapku.
“Supaya
kamu ngga kepanasan, kita naik taksi
saja deh. Gimana?” Apin kembali menatapku sambil berkedip-kedip. Hahaha.
Kami
sengaja tidak memesan taksi dari hotel karena sudah pasti akan kena tarif taksi
yang lebih mahaldan susah buat nego harga. Kami memilih menyusuri trotoar
menjauh dari hotel lalu memberhentikan taksi di pinggir jalan.
Woooyy, ini bukan di Jakarta yang bisa
seenaknya memberhentikan taksi di sembarang tempat.
Eh, tapi ternyata sebuah taksi berwarna merah dibody
dan putih di atapnya mau juga berhenti tuh.
Supirnya keturunan India.
Setelah tawar menawar yang cukup alot maka kami diangkut dengan kesepakatan RM 90
dengan trayek KL-Batu Cave-Genting .
Aca…aca…let’s go to Batu Cave!
Taksi
baru berjalan 10 menit, supir berbelok masuk ke sebuah POM Bensin.
”Ibu, mobil isi gas dulu ya. Kita jalan jauh.” Kata si Sopir. Sebagian besar
taksi disana rupanya berbahan bakar gas.
“Ok”
saya setuju.
Saat
antrian mendekati mesin pengisi gas, sopir kembali menoleh ke saya. “Ibu, saya
minta 50 ringgit. You’re my first
passenger this morning. Saya belum ada uang” katanya sambil membuka dompet
agar saya yakin.
Hahaha…sopirnya bokek.
Sayapun
menyerahkan 50 ringgit ke tangannya yang disambut dengan senyum malu-malu.Setelah
mengisi gas, taksi kembali melaju ke arah Batu Cave.
Berwisata di Batu Cave kali ini saya memutuskan tidak menaiki tangga ke dalam gua, karena pasti nafas
akan lebih ngos-ngosan saat memanjat 272
tangga sambil menggendong bayi gendut. Jadi saya hanya foto-foto dipelataran
dan didepan patung raksasa yang dipersembahkan bagi Dewa Murugan. Patung yang berlapis 300 liter cat emas yang khusus
diimport dari Thailand
ini, terlihat suaaanggat bling-bling bahkan dari kejauhan .
Sekitar
setengah jam saja saya bernarsis-ria di Batu Cave. Karena kali ini juga bukan
kunjungan pertama,maka saya tidak terlalu curious
dengan isi wahana wisata ini. Kami lanjut ke Genting Highlands
Dengan alasan karena jalan-jalan sambil menggendong bayi, wahana Theme Park yang merupakan salah satu wahana utama di Genting, kali ini saya skip saja. . Tapi,saya sempat
menonton pertunjukan Cabaret di Hall (nontonnya berdiri sambil ngemil) dan masuk ke Museum Ripley’s untuk (lagi-lagi) berfoto-foto.
Tujuan besar saya ke Genting sekali ini adalah karena ingin masuk kedalam
Casino. Kunjungan sebelumnya bersama suami di warnai oleh omelannya : “Ngapain sih? Cari penyakit! Udah jelas-jelas
dilarang.” Katanya sambil menunjuk tanda perempuan berjilbab dicoret. Alias
Muslimah tidak boleh masuk. Karena tidak ada yang akan mengomeli kali ini saya
mau mencoba, sekedar memuaskan rasa ingin tahu dan penasaran saya.
Sayapun
mendekati petugas security yang
sedang berjaga,”Pak Cik, boleh tak saya masuk ke dalam?” Saya pasang tampang
sepolos wajah Apin.
“You muslimah ke? Tak boleh!” Pak Satpam
menggeleng keras.
“Saya
dari Indonesia,
jalan-jalan kesini. Sebentar saja , Pak Cik. Nak lihat-lihat” Saya coba merayu.
Biasanya rayuan saya maut.
“Saya
nak lihat passport awak. Betulkah
awak touris?” Buru-buru saya
keluarkan paspor hijau saya dan print tiket pulang.
“Saya
hanya sepekan disini, Pak Cik”
“Okelah.Awak
boleh masuk. Sekejap saje. No foto ye.”Pak Satpam menyerahkan kembali paspor
dan tiket lalu menyilahkan saya masuk.
Benarkan,
rayuan saya maut.
Menuntaskan
keingin-tahuan saya keliling dari satu meja ke meja lain. Dari satu permainan
ke permainan lain. Memperhatikan bagaimana orang-orang tua-muda (kebanyakan encim-encim dan akoh-akoh) mempertaruhkan keberuntungan mereka disitu. Sekali-kali
saya ikutan bertepuk tangan saat ada seseorang yang beruntung memenangkan
pertaruhannya.
Bosan
berkeliling, sayapun memutuskan keluar dari arena perjudian tersebut. Di pintu
keluar saya bertemu lagi dengan Pak Satpam yang mengijinkan saya masuk.
“You kate hanya sekejap.”Katanya menegur.
Saya hanya tersenyum menjawab protesnya dan melenggang santai menuju terminal Genting
Express Bus untuk naik bis menuju KL Sentral.
Saya
tiba di hotel pukul 8 malam. Bahu saya terasa pegal karena seharian penuh
menggendong Apin. Apinpun tampak kelelahan. Malam itu ia tidur lelap sekali
hingga tidak terbangun malam hari meminta ASI, seperti biasanya.
Hari Ketiga.
Hari
itu saya memutuskan jalan-jalan pada sore hari saja. Pagi hingga siang kami
istirahat didalam kamar hotel saja. Apin saya pinjat dan mandi berendam di air
hangat hingga 2x. Merasa rileks ia tidur siang cukup lama .
Saat
matahari telah condong ke barat, saya menggendong Apin keluar kamar. Tujuan
kali ini ke Twin Tower, untuk berfoto-foto tentu. Naik monorel
dari Medan Tuanku saya turun di Bukit Nanas. Hanya 1 perhentian. Jika tidak
menggendong Apin saya biasanya memutuskan berjalan kaki saja untuk jarak
sedekat ini. Toh, trotoarnya cukup lebar dan nyaman bagi pejalan kaki.
Setelah
puas berfoto-foto dipelataran Twin
Tower, sayapun masuk
kedalam Suria Mall. Keliling di tiap lantainya. Naik turun lift. Sempat mampir
sebentar kedalam salah satu toko yang menjual camera. Sekedar melihat-lihat
koleksi lensa mereka sambil berharap semoga ada sale gede-gedean. Ternyata harapanku tidak terkabul selain itu
harga lensa dan kameranya nyaris tidak berbeda dengan harga yang dibanderol
toko kamera di Jakarta.
Sayapun melangkah keluar komplek pertokoan dan perkantoran tersebut bermaksud kembali
menuju hotel. Saat menyusuri trotoar setelah perempatan jalan Ampang, Jalan P.
Ramlee dan Jalan Yap Kwan Seng, diantara bayang-bayang rimbun pepohonan ,saya
melihat ada sebuah café terbuka.
”Pin, kita mampir kesitu ,yuk. Barangkali ada makanan enak. Kamu lapar ngga?” Apin
hanya balik menatap saya sambil tertawa-tawa. Merasa diajak ngobrol.
“Oke,
berarti kamu setuju,kan
Pin?” sayapun melangkah mendekati salah satu bangku besi terdekat.
Dengan
menu sepotong ayam kari dan nasi lemak serta secangkir es teh tarik saya sudah
merasa full tank. Dan chicken corn soup buat Apin. Jalan kaki
menuju hotel terasa berat disaat perut kekenyangan apalagi sambil mengendong
bayi yang montok. Maka saya melambai saat ada sebuah taksi lewat.
Alamak!
Sampai lambaian kelima tak ada satupun taksi yang bersedia berhenti. Maka saya
pasrah saja pelan-pelan berjalan ke terminal monorail Bukit Nanas. Selanjutnya
naik monorel ke Medan Tuanku dan berjalan kaki lagi ke hotel.
Tepar.
Saat
mata sudah mulai terpejam malam itu, ponselku berdering. Dari suami.
”Ma, Papa sudah turun dari off-shore
tadi siang. Sekarang lagi istirahat mess. Tapi besok mau ke Miri, Cuma mau meeting
dengan beberapa orang sih. Kalau mau boleh nyusul.”
Wah,
tawaran yang tidak akan kulewatkan. Aku belum pernah menginjakkan kaki di Miri.
Apalagi , akan lebih mantap berjalan-jalan dengan suami. Bisa gantian
menggendong Apin.
Akupun
segera searching tiket Kuala Lumpur – Miri untuk
esok hari. Alhamdulillah, dapat.
Malam
itupun kami berkemas-kemas dan membatalkan sisa pesanan kamar yang 3 hari
Hari Keempat.
Jam
6 pagi saya dan Apin sudah duduk manis di KLIA Express. Apin saya biarkan duduk
dibangku sendiri. Karena kadang-kadang iapun capek digendong terus menerus.
Jam
10 tepat pesawat Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH 2564 sudah mulai
bergerak perlahan-lahan siap mengangkasa meninggalkan Kuala Lumpur.
Goodbye
KL, Hello Miri…