Dengan
menggendong Ratna dan menuntun erat lengan Aji dan Dewi dikiri-kanan, Aku
segera bergegas meninggalkan arena pesta pernikahan ini.
Sedihku
tak terkira.
Harga
diriku hancur.
Namun
kupaksakan tetap menyunggingkan senyum kepada para kerabat dan tamu kedua
mempelai, yang beberapa diantaranya kukenal.
Saat
kembali melewati kotak amplop di hadapan meja penerima tamu, aku tertegun.
Lalu
kutetapkan hati, karena jika tidak kulakukan, aku yakin akan makin merasa
berdosa. Kepada anak-anakku , juga kepada kedua mempelai dan keluarganya.
Dengan cepat kumasukkan selembar amplop yang telah kupersiapkan dari rumah.
”Bismillah,
Semoga mereka mengerti dan mengikhlaskan” Doaku dalam hati.
“Sstt,
Mak, aku tadi sisain ayam gorengnya” Aji mengeluarkan potongan ayam
goreng dari sakunya. “Buat makan nanti malam”
“Dewi,
juga punya ini, Mak.” Diacungkannya segumpal bungkusan dari kertas tisu. Campur
aduk disitu, sepotong ayam goreng, dua potong kue bolu dan sebuah jeruk.
”Masya Allah, Nak. Kalian mengambil lagi?”Aku terbelalak.
”Masya Allah, Nak. Kalian mengambil lagi?”Aku terbelalak.
“Nggak koq,
Mak, Ini sisa d ipiring kami.” Dewi buru-buru memasukkan lagi gumpalan tisu itu,
seolah-olah khawatir aku akan merampasnya.
“Ya
sudah. Disimpan buat makan nanti malam, ya “ Kuusap kepala mereka.
“Untung
Pakde Suryo mantu ya, Mak. Jadi siang ini kita bisa makan kenyang,
deh.” Aji mengelus-elus perutnya. “Coba setiap hari ada yang selametan ya
, Mak, kan
kita bisa ikutan makan. “
”Itu
kalau kita diundang. Kalau nggak diundang kan nggak dapet makanan juga. Iya’kan ,
Mak?” Dewi menimpali.
Ah,
anak-anakku, semoga kalian bersabar dengan segala kesulitan ini.
Aku bersyukur siang ini anak-anakku makan dengan kenyang. Nanti malampun nampaknya kami tidak terlalu kelaparan karena kami bisa mengganjal perut dengan sisa makanan yang dibawa anak-anakku. Tapi bagaimana dengan besok dan lusa?
Beginilah
yang selalu terjadi pada kami. baik di musim hujan maupun di musim kemarau.
Kami jarang makan dengan cukup. Bahkan sering harus menahan lapar
sehari-semalam. Penghasilanku
sebagai buruh harian di sawah Juragan Busro hanya cukup untuk
membeli makanan seadanya, asal kami tidak kelaparan.
Upahku
tidak pernah bersisa untuk membeli simpanan bahan pangan disaat tidak ada
pekerjaan di sawah buatku. Seperti yang terjadi beberapa minggu belakangan ini.
Hujan yang turun sangat deras, menyebabkan sawah-sawah Juragan Busro pun
kebanjiran. Dan aku sebagai buruh harian kehilangan pekerjaan. Padahal itulah
satu-satunya sumber penghasilanku.
Entah
sampai kapan kondisi ini berlaku bagi kami.
--------
Meskipun
sedikit merasa sedih karena Nadya, putri sulung kami, sebentar lagi akan
diboyong ke Balikpapan oleh Sapto, yang sekarang menjadi suaminya, namun aku
bersyukur, kami sudah menunaikan salah satu kewajiban sebagai orang tua.
Menikahkannya.
Upacara pernikahan pun berlangsung meriah. Hampir semua tetangga desa kami datang. Beberapa teman kuliah dan kerja Nadya dan Sapto pun menyempatkan untuk datang dari luarkota .
Upacara pernikahan pun berlangsung meriah. Hampir semua tetangga desa kami datang. Beberapa teman kuliah dan kerja Nadya dan Sapto pun menyempatkan untuk datang dari luar
“Alhamdulillah”
Bisik syukur diakhir shalat isyaku.
”Bunda”
Kudengar Yulia, bungsuku, mengetuk pintu. “Dipanggil Ayah ke ruang tamu. Mau
buka amplop, katanya.”
Diruang
tamu sudah berkumpul suami, kedua putriku dan Sapto, menantu baruku , serta
beberapa orang keponakan kami. Kulihat Yulia sudah siap dengan
sebuah buku dan pulpen untuk mencatat uang pengisi amplop yang kami terima.
Beberapa
amplop berisi uang dengan nominal cukup banyak, terutama dari relasi kerja Nadya, Sapto dan suamiku.
Hingga Fauzan, adikku, mengangkat sebuah amplop.
Hingga Fauzan, adikku, mengangkat sebuah amplop.
“Ya,
ampun, lusuh amat nih amplop” komentarnya. Lalu dia membuka dan
mengeluarkan isi amplop tersebut.
Sebuah
surat .
Dibacanya
segera.
Tetapi kulihat bibir Fauzan bergetar dan wajahnya memucat.
Tetapi kulihat bibir Fauzan bergetar dan wajahnya memucat.
”Buat
Mas Suryo dan Mbak Yu,” katanya sambil mengulurkan surat itu kepada suamiku . Suamiku pun segera
membacanya.
“Ya
Allah.! Astaghfirullah! Astaghfirullah” Kulihat suamiku
menggeleng-gelengkan kepalanya. Ada
setitik air disudut matanya, “ Ampuni hamba Ya, Allah. Ampuni Hamba“
Mendadak Mas Suryo mengambil sebagian uang-uang dari amplop yang menumpuk di depan Nadya
”Sebagian
ini untuk bayar sisa hutang kalian untuk pesta ini. Jika kurang ambil simpanan
Ayah di bank, besok," katanya.
“Dik,
kita masih punya beras?" Ucapnya kepadaku. "Bawa kesini 10 kilo. Ayam goreng, dan rendang masih ada? Gula, teh, Indomie ada?. Bawa sini semua!“ Perintah Mas Suryo sambil
mengumpulkan sebagian kue-kue yang terhidang di hadapan kami.
“Baik,
Yah.” aku kebingungan dengan sikapnya. Anak-anak pun hanya terdiam memperhatikan. “Tapi
apa isi surat
itu? Dari siapa?”
Diulurkan
surat itu, aku
pun segera membacanya. Tulisan tidak rapi tapi bisa terbaca dengan jelas.
Terutama kepedihan di dalam kata-katanya.
Yth. Pak Suryo dan Bu
Suryo,
Mohon maaf yang
sebesar-besarnya sebelumnya. kami datang ke pernikahan Mbak Nadya dan Mas Sapto
meski tanpa diundang.
Saya paham kami memang
tidak seharusnya berada di acara itu karena kami tidak punya pakaian
yang pantas dan kado sebagai kenang-kenangan. Namun, sudah dua hari ini saya
dan anak-anak belum makan karena kami sama sekali tidak mempunyai makanan juga
uang untuk beli makanan. Mohon maaf kami menumpang makan siang ini. Semoga
Bapak dan Ibu Suryo mengikhlaskan makanan yang saya dan anak-anak saya makan.
Dan semoga Mbak Nadya dan Mas Sapto rumah tangganya bahagia.
Salam,
Jamilah
Ya Allah, ampuni kami!
Bagaimana
bisa terlupa mengundang tetangga kami itu, padahal mereka sering
kami panggil untuk membantu membersihkan rumah!
“Ayo, Yulia, Nadya, Sapto, ikut kami mengantar makanan dan uang ini ke rumah Bu Jamilah. Semoga mereka mau memaafkan kita,”kata suamiku sambil menarikku bangkit dari duduk. "Ayah merasa sedih karena di saat kita bergembira dan berpesta, ternyata ada tetangga yang sedang kelaparan. Astaghfirullah!"
“Ayo, Yulia, Nadya, Sapto, ikut kami mengantar makanan dan uang ini ke rumah Bu Jamilah. Semoga mereka mau memaafkan kita,”kata suamiku sambil menarikku bangkit dari duduk. "Ayah merasa sedih karena di saat kita bergembira dan berpesta, ternyata ada tetangga yang sedang kelaparan. Astaghfirullah!"
-------
Fiksi
lainnya: