(Khawatir
Bag.1)
Sepagi
yg dingin ini (baru terasa sekarang) Saya sudah keluar dari kolam renang.
(Wuuuiihhh, gaya banget), lalu pulang dengan berlari.
Saya berlari bukan karena
takut dikira "menyimpan" handuknya klub janapada, juga bukan karena
berharap bisa lari dari kenyataan hidup, dan bukan pula karena dikejar herder.
Saya berlari karena setelah mandi koq otot Saya jadi auto-senam disko, alias
menggigil. Angin yang berhembus dengan bersemangat ternyata lebih terasa dingin
dibanding air kolam renang. Jadilah Saya
lari sekitar 3 KM tadi.
Sebagai
anak yang pernah tinggal di kampung, dulu saya terbiasa bermain air dan berenang di saluran
irigasi. Pun sewaktu tinggal di Tanjung Priok yang terkenal jadi langganan
banjir saat air laut pasang apalagi saat musim hujan. Tapi kemampuan berenang
saat kecil itu cuma sampai tahap supaya tidak kelelep.
Saya belajar berenang
dengan "bergaya" saat SMP. (Terima kasih kepada guru olahraga, Pak
Makruf). Saya termotivasi menguasai berbagai macam gaya berenang -gaya punggung,
gaya dada, gaya kupu-kupu, gaya banget deh- karena Ketua OSIS Saya jago banget
berenangnya, masa Saya sebagai wakilnya ngga bisa berenang.
Apa kata dunia!
Saya
kembali aktif berenang 2 tahun belakangan ini. Karena desakan untuk mengunjungi
kampung Bapak Mertua semakin gencar dari Suami.
"Ribuan orang datang kesana, masa kita ngga sih?" Katanya "Nanti
masing-masing anak diwajibkan memakai jaket pelampung selama di kapal. Bila
perlu kita bawa sekoci sendiri"
Jelaskan
sekarang?
Keywordnya : kapal, pelampung, sekoci. Yang berarti Laut.
Tempat
parkir jamaah air berton-ton liter. Jadi harus bisa berenang.
Kampung
Bapak Mertua Rahimahullah di Pulau Tidung - Pulau Seribu. Yang tidak pernah
Saya injak lagi sejak Saya hamil pertama. Padahal sebelumnya Saya kerap main ke
sana.
Sebagai
anak keturunan pelaut, ketakutan Saya terhadap laut terasa aneh. Saya tidak
takut berada dilaut jika "hanya Saya" yang berlayar diatasnya. Tapi
Saya merasa ngeri jika membawa anak-anak ke laut. Dimata
Saya, laut bukan tempat yang aman buat mereka.
Jadilah
Saya semangat mengasah skill berenang agar bisa mengajak anak-anak pulkam. Saya
tidak berharap terjadi hal yang jelek (amit-amit, ih), setidaknya kalau bisa
berenang Saya ngga malu-malu banget lah ama Paus. Jangan sampai dia ngebathin:
"Bodi doang yang sama gede, kalau soal berenang sih masih jagoan gue".
Nah!
Malang nian kan jika mengalami nasib di darat ngga sanggup mengalahkan Dian Sastro
(kami sama-sama punya kartu Marie France Bodyline - Kalau Dian Sastro contoh
keberhasilan program pelangsingan , sedangkan Aku contoh kemalasan : Sudah
dikasih gratis hadiah ngeblog, masih malas juga ikuti programnya), eh, dilaut
diketawain Paus.
Bulan
terus berganti nama. Tahun 2014 pun sudah mau selesai. Tapi keberanian Saya
berenang cuma maksimal di kedalaman 120 cm. Lebih dalam dari itu masih aatuuuttttt. Takut tiba-tiba keram perut
dan kaki tidak bisa menjejak lantai kolam. Hal ini terjadi pada tetangga Saya,
yang kemudian tenggelam.
Padahal jika di laut, 120cm itu masih dihitung pantai.
Kalau sudah ketengah laut kan lebih dari itu. Bahkan ada pepatah : "Dalamnya hati bisa diukur, dalamnya laut
siapa yang tahu?" ( Harap dianggap benar saja pepatah ini, demi ketenangan
bathin Saya. Plissss...).
So,
kedalaman kolam lebih dari 120 CM saja Saya ngga berani apalagi di laut yang 10
METER lebih? Jika sendiri saja tidak berani, bagaimana meyakini diri Saya
sanggup membawa 4 anak dan memastikan keamanan mereka?
Begitulah.
Kekhawatiran emak overprotektif.
Sudah
2 tahun mempersiapkan diri. Kemampuan berenang pun sudah lumayan. Tapi soal
keyakinan diri yang belum bisa mengatasi kekhawatiran dengan begitu banyak
"jikalau".
Kata Suami " Kekhawatiranmu tidak beralasan. Ribuan
orang pulang-pergi ke sana tiap pekan, mereka baik-baik saja."
Yeeee...
Mereka ya mereka. Saya ya Saya. Mereka tidak merasakan kekhawatiran Saya.