Ini kisah perjalanan saat Saya ber #LoneTraveler
Biasanya saat beli tiket kereta, Saya agak cerewet memilih posisi bangku. Kepada Petugas loket karcis, Saya selalu meminta tempat duduk yang dekat jendela, malah kalau bisa tidak ada penumpang di samping, jadi diperjalanan nanti Saya bisa tidur berbaring. Hehe. Tapi rupanya di awal pekan ketiga Januari 2015 ini, penumpang kereta api cukup penuh.
Biasanya saat beli tiket kereta, Saya agak cerewet memilih posisi bangku. Kepada Petugas loket karcis, Saya selalu meminta tempat duduk yang dekat jendela, malah kalau bisa tidak ada penumpang di samping, jadi diperjalanan nanti Saya bisa tidur berbaring. Hehe. Tapi rupanya di awal pekan ketiga Januari 2015 ini, penumpang kereta api cukup penuh.
Saya
berangkat dari Stasiun Gumilir. Sebuah stasiun kecil setelah stasiun Cilacap.
Saat naik ternyata bangku Saya sudah diduduki sepasang suami-istri. Sedangkan di kursi
seberang (dekat jendela juga ) sudah duduk seorang lelaki.
Kepada suami-isteri tersebut Saya protes dambil menunjukkan nomor kursi yang tertera di tiket KA "Yang dekat jendela kursi yang Saya pesan, Bu"
"Tukeran
,ya, Mbak. Mbak pindah ke kursi sebelah Bapak itu." kata si
Ibu.
"Saya ngga mau, Bu. Saya mau duduk dekat jendela. Saya beli tiket dari
pagi supaya bisa memilih tempat duduk" Kata Saya.
"Atau Mbak tukeran
aja dengan Mas itu" Kata si Bapak menunjuk lelaki yang duduk di bangku seberang
"Saya
ngga berurusan dengan Mas itu, Pak. Saya mau minta kursi Saya yang diduduki si
Ibu"
"Wis ,
Pak, nek wonge ngga gelem. Aku pindah wae" Si Ibu pun pindah duduk di samping lelaki di seberang. Si Bapak duduk
di sebelah Saya.
Saya pun kemudian menaruh ransel dan duduk manis bersenderan ke jendela, memejamkan mata mencoba tidur (saat itu sekitar pukul 19)
Saya pun kemudian menaruh ransel dan duduk manis bersenderan ke jendela, memejamkan mata mencoba tidur (saat itu sekitar pukul 19)
Tapi,rupanya si Ibu masih ngga legowo juga setelah mengembalikan kursi Saya.
Dia menyindir- nyindir terus: betapa jaman sudah berubah, orang ngga toleran lagi, soal kursi aja diributin seperti pejabat. Bagaimana nanti kalau jadi pejabat beneran? blablabla.
Dia menyindir- nyindir terus: betapa jaman sudah berubah, orang ngga toleran lagi, soal kursi aja diributin seperti pejabat. Bagaimana nanti kalau jadi pejabat beneran? blablabla.
3
hari kurang tidur rupanya membuat ambang batas emosi saya anjlok.Saya pun menegur si Ibu. "Ibu ngga usah menyindir-nyindir begitu! Saya tahu maksud Ibu. Seharusnya Ibu yang malu menuntut kursi yang bukan hak Ibu. Kita memang
membayar dengan harga yang sama. Tapi supaya bisa dapat duduk di bangku ini,
Saya harus meluangkan waktu ekstra datang ke stasiun lebih pagi. Waktu
Saya ada nilainya. Ada
harganya. Jadi Saya ada upaya lebih untuk mendapat kursi ini Ibu menyindir-nyindir saya kayak pejabat yang ngga mau kehilangan
kursi. Lah, Ibu sendiri koq memaksa mengambil jatah kursi orang lain?"
Si suami menengahi: “Sudah. Sudah. Maaf ,Mbak. Malu ribut-ribut”.
Saya: Saya tidak malu mempertahankan hak Saya, Pak. Tapi, kalau Saya mau
mengambil hak orang lain, yah baru
lah Saya malu"
Dan
sepanjang jalan malam itu si Suami duduk memunggungi Saya.
Bodo
amat. Pegel lu yang rasain sendiri!
----
Jika orang baik itu digambarkan sebagai orang yang selalu mau mengalah, maka , kali ini Saya bukan orang baik.
2 komentar:
Manusiawi sekali, Mbak Rinny. Saya kadang begitu pula.
Aku pernah mbak, ngalamin begitu. Bedanya, aku kalah keukeh, si cewe tetep di kursi aku deket jendela. males ribut.Aku pake teknik "halus". pas si cewe mau ke toilet, dan harus melewati tempatku, aku lama-lamain aja geser kaki buat kasi jalan. wakkakak...rasakno
Post a Comment