“Selamat
pagi. Bersyukurlah, karena pagi ini kita masih diberi kesempatan melalui satu
hari lagi. Semoga kesuksesan mengiringimu hari ini” tulisnya di aplikasi pesan
singkat.
Dipejamkan
mata dan digigit bibirnya. Ia ragu, apakah akan dikirim atau dihapus saja pesan
ini.
Dikirim?
Jangan!
Dikirim?
Jangan!
Tetapi
tetap saja ibu jarinya mengklik tombol “Send Message”.
Lalu
semburat merah muncul di wajahnya. Ia malu.
Ah,
ia merasa telah bertindak bodoh. Lagi.
Selalu
begitu.
Perasaan
sama yang ia rasakan setiap mengirim pesan ke nomor ponsel yang telah
dihapalnya itu. Telah belasan kali, puluhan kali, ia membodoh-bodohi diri.
Namun ia tak jera juga.
Ia
merasa bodoh karena ia tahu walau pesan itu mungkin dibaca oleh si Penerima,
namun tidak akan pernah dibalasnya.
Tak
akan pernah.
Ia
seperti mengirim pesan kepada angin.
Ia
menjadi bodoh karena merindu yang tak sanggup dilawannya.
Kadang-kadang
jika telah berbulan-bulan memendam kerinduan, ia akan nekat menelpon.
Hanya sekedar ingin mendengar suara si Penerima berkata, “Hallo,
Nova. Ada yang bisa kubantu?”
Lalu
ia akan tergagap.
Sibuk
mencari setrilyun alasan agar mereka bisa bercakap satu - dua menit.
Namun
saat percakapan itu selesai, ia akan menyesali diri lagi.
Kembali
membodoh-bodohi dirinya.
Tapi
juga sekaligus ia merasa bahagia. karena si Penerima masih mau menjawab
panggilan telepon darinya. Dan langsung menyapa dengan, "Halo,
Nova"
Aha.
Bukankah itu berarti si Penerima masih menyimpan nomor ponselnya, walau telah
bertahun-tahun?
***
Dua
puluh tahun lalu, suatu pagi di sebuah halte bus
Ia
bersemangat ketika melihat seseorang turun dari becak lalu melangkah mendekati
halte. Sebuah harapan terbit di dadanya. Berharap orang ini mau membeli
dagangannya.
"Kak,
mau beli susu kacang? Masih hangat."
Diulurkannya
sebungkus susu kacang ke lelaki berseragam SMA.
Remaja
itu menggeleng. "Ngga, Dik. Makasih"
Ia
mundur kembali ke sudut halte. Tempat ia menaruh dua buah termosnya. Keduanya
masih terisi penuh. Belum satupun terjual.
Untuk
membunuh waktu, ia menyibukkan diri. Dimasukkan masing-masing sebungkus susu
kacang dan sebatang sedotan ke dalam kresek. Bersiap-siap jika ada pembeli.
"Susu
kacangnya berapaan?"
Ia
terlonjak kaget. Suara si Kakak SMA itu tiba-tiba menyapanya.
"Sebungkus,
seratus. Mau beli,Kak?" Ia kembali menawarkan dengan semangat.
"Satu
aja." Diulurkan selembar uang kertas merah seratus rupiah.
"Jauh
Kak, sekolahnya?"
"Di
Pasar Baru."
"Naik
PPD 63 dong, Kak.”
“Iya.”
“Sekolah
apa, Kak?”
“STM”
Ditunjukkan badge di lengan kirinya. Tertulis nama sebuah
sekolah teknik negeri.
“Oooh.. “ Ia manggut-manggut.
Padahal
sesungguhnya ia belum paham apa yang dimaksud dengan kata STM itu.
“Itu bisnya datang, Kak." Ia menunjuk sebuah bus biru yang mendekat. Asap
hitamnya mengepul, memenuhi udara di halte itu. Ia terbatuk-batuk.
"Jualan
di halte begini, kamu pasti kena debu dan asap kenalpot bus. Ini pakai
saputanganku untuk menutup hidungmu." Kakak berseragam SMA, ups STM, itu
mengulurkan saputangannya.
“Aku
berangkat, ya.” Pamitnya. “
Sejak
hari itu, ia memiliki pelanggan tetap susu kacangnya. Sesekali Kakak SMT itu
membeli hingga 10 bungkus.
"Untuk dibagiin ke
teman-teman" Katanya.
Sejak
hari itu, walau mereka tidak banyak saling berbicara, tapi harapan ada
seseorang yang akan membeli dagangannya setiap pagi membuatnya selalu
bersemangat memulai hari.
Suatu
pagi di bulan Desember, Kakak SMT datang dengan wajah yang berkerut-kerut
dan mata sembab.
"Sebentar
lagi aku mau ujian." Katanya
"Ooo"
Pantas saja sambil berdiri menanti bus pun, ia masih membaca kertas catatan.
"Kamu
ngga sekolah? Atau sekolah siang?"
Ia
menggeleng. Dadanya selalu sesak jika ada yang menyinggung tentang
pendidikannya.
"Aku
cuma tamat SD, Kak. Mestinya sih sekarang kelas 1 SMP"
"Orang
tuamu kerja dimana?"
Ia
kembali menggeleng.
"Aku
tinggal dengan Nenek. Abah dan Mamak sudah meninggal ditabrak truk
kontainer."
Ah,
walau kehidupannya menjadi pahit setelah kepergian kedua orangtuanya,
tetap saja setiap kali menyebut nama mereka membuat lidahnya kelu.
Dengan
mudah ia bisa memutar kembali kenangan di hari kepergian mereka. Sore hari
sehabis Ashar 6 bulan lalu, beberapa temannya meneriakkan namanya. Memanggil
agar ia segera pulang dari halaman musola tempat mereka bermain.
"Abah ama Mamak lu ketabrak
kontainer" Teriak mereka.
Ia
berlari secepat kilat ke rumahnya. Kemudian diilihatnya beberapa tetangga
mereka baru saja menurunkan jenazah Abah dan Mamak yang berlumuran darah,
dari angkot. Beserta sepeda ontel hijau mereka yang telah patah.
--
"Punya
kakak atau adik" Kalimat tanya itu mengusir lamunannya.
"Adikku
satu. Lelaki. Namanya Tegar." Ia tersenyum. Tegar kecil tersayanglah yang
membuatnya selalu bisa tersenyum.
"Itu
busnya datang, Kak"
Bus
biru yang setiap pagi dan sore selalu penuh sesak dengan penumpang, mendekat.
Kakak SMT itu naik dengan lincah. Lalu masuk ke dalam bis dengan cara
menyelipkan badannya yang kurus tinggi diantara penumpang yang berjejal.
***
Ketukan
di pintu ruang kerjanya memutuskan rasa gamangnya. Ditariknya nafas
dalam-dalam, lalu dihembuskan dengan kuat.
"Ya,
masuk"
Seraut
wajah manis milik Laili muncul di ambang pintu.
"Mbak, ngingetin aja,
sekarang hampir jam sembilan. Sebentar lagi jadwal Mbak meeting ama
Mr. JB."
Ia
mengangguk.
Tiba-tiba
jantungnya berdetak. Adrenalinnya bekerja cepat. Meeting dengan
Mr JB -Jacob Bryanson- seorang profesional dari Amerika yang direkrut untuk
menjadi Regional Marketing Director perusahaan ini- biasanya akan berlangsung
dengan seru dan alot. Ia bisa menguliti strategi pemasaran yang dibuatnya,
selapis demi selapis, hingga tertinggal keperihan menghadapi kenyataan karena
ternyata begitu banyak kelemahan yang bisa ditemui pikiran cerdasnya.
"Oya,
aku lupa Mbak, Pak Gilang juga akan hadir nanti."
"Pak
Gilang? Koq aku baru dikasih tahu sekarang sih?"
"Yah,
aku juga baru diberitahu lewat telepon 5 menit lalu." Secercah cengiran
muncul di sudut bibit Laili. Ia sangat paham bahwa kehadiran Pak Gilang akan
membuat Manajernya ini merasa sangat tidak nyaman.
Bersambung..