Saat
ini sedang diputar Film Naura and The Gank yang kabarnya
adalah film bergenre film untuk anak-anak. Sempat terbit
harapan di hati saya untuk membawa Safira dan Jasmine menonton film tersebut
sebagai hiburan, mengingat sudah sangat jarang sekali ada film sejenis itu saat
ini. Bahkan sekalipun film yang diimport dari Hollywood sana, sepanjang tahun
2017 ini rasanya belum ada lagi film baru buat anak-anak. Apalagi pada saat
pemutaran film Perdana, saya membaca apresiasi dari salah satu penonton yang
diundang, bahwa film tersebut mengandung unsur Pendidikan, sehingga layak untuk
ditonton anak-anak.
Namun,
belum lagi niat tersebut terlaksana, tiba-tiba saya membaca status Facebook salah satu teman saya
yang memberikan penilaian negative terhadap film tersebut. Bahkan menghimbau
agar film itu tidak ditonton, dengan alasan mendiskreditkan Islam, karena para
tokoh antagonisnya berjenggot dan
mengatakan beberapa kalimat talbiyah saat melakukan kejahatan. Dan himbauan
dari status ini menjadi viral .
Disisi
lain, pagi ini saya membaca lagi sebuah status
Facebook juga yang justru memberikan pendapat berbeda. Menurutnya film ini
layak ditonton. Dengan berbagai alasannya. Dan status ini pun kembali menjadi
viral.
Akibatnya
kedua kubu dari status pertama dan
kedua pun saling bersitegang. Kasus seperti ini sudah biasa banget terjadi di
media social. Pendapat A vs Pendapat B.
Yang
disayangkan adalah kedua pihak lupa, bahwa tiap orang punya pendapat dan
persepsi masing-masing berdasarkan pengalaman hidup, pembelajaran hidup serta
keyakinan masing-masing.
Saya sebetulnya jenis orang yang tidak mudah setuju dengan
pendapat orang lain. (Itu semacam 'kutukan' dari hasil didikan belasan tahun di
bangku sekolah). Tetapi, walaupun saya MEMBANTAHnya, belum tentu saya
MENYALAHKANnya. Saya memahami, bahwa
bisa saja pendapat tersebut menurutnya benar, karena pengalaman, pengetahuan
serta pengetahuan yang didapatnya seperti itu.
Saya membantah karena pengalaman yang saya alami, pengetahuan yang saya miliki,
serta hal yang saya yakini bisa saja berbeda.
Seperti
halnya dua orang -misalkan saya dan Mbak A- yang berjalan bersisian di dua sisi
rel yang berbeda. Walaupun tujuan akhir sepasang rel tersebut sama, tapi
pengalaman yang saya dapatkan tentu berbeda dgn pengalaman Mbak A yang berjalan
di sisi yg berbeda. Kerikil yang kami injak berbeda. Mungkin saat berjalan di
sisi saya, ada kotoran kambing di titik tertentu, sementara di sisinya tak ada.
Bisa juga di titik lain ia harus melompati kubangan air, sementara di sisi saya
lajurnya berpasir.
Teman yang mendengarkan cerita berdasarkan pengalaman saya, bisa
mengatakan, "Kata Rinny, jalur kereta itu banyak kotoran
kambingnya, selain itu tracknya berpasir."
Sementara, teman lain yang mendengarkan cerita versi Mbak A,
akan membantah dan mengatakan, "Ah
mosok, Mbak A bilang jalur kereta itu banyak kubangannya loh. Berbatu-batu
lagi. Saya sih percaya kalau Mbak A benar, wong itu pengalamannya koq."
Maka dua orang itu saling berbantahan berdasarkan dalil 'Cerita
Mbak Rinny vs Cerita Mbak A'.
Apakah Mbak Rinny dan Mbak A salah?
Lah, itu kan pengalaman 'kami' sendiri.
Apakah kedua mbak-mbak yang bertengkar salah?
Kan mereka mengutip pernyataan dari
orang yang sama-sama mereka percayai koq.
Lalu siapa yang salah?
Yang salah adalah perilaku malas yang
tidak mau check dan recheck.
Begitulah.
Buat saya, berita yang benar-benar absolut saya percayai adalah 'berita' yang dibawa Jibril kepada
Rasulullah, yang tertulis dalam Al Qur'an, dan cerita yang dikisahkan oleh para
Perawi Hadist shahih. Dua itu thok.
Sisanya -walau itu tertulis dalam Wikipedia, Majalah Times,
Majalah Intisari, apalagi blog dan status orang yang tidak dikenal-, saya
biasanya akan melakukan (dan saya menyarankan) check dan recheck.
Bila diperlukan, buatlah pengalamanmu sendiri. Agar pendapatmu shahih bagi dirimu sendiri.
(Saya jadi pingin menonton film tersebut, untuk memiliki pengalaman dari sisi rel saya.)