Kisah Trisha:
Kembali
aku melirik ke aplikasi pesan Whatsapp-ku. Hmm, masih belum ada respon darinya.
Padahal pesanku telah bertanda dua centang biru. Berarti ia telah membacanya.
Sampai kapan ia mengacuhkanku? Padahal sekarang aku cemas karena bagian
penagihan kartu kreditku telah dua kali menelpon. Berarti tagihan kartu
kreditku belum dibayarnya.
“Yang,
lagi sibuk ya, sampai-sampai pesanku belum dibalas. Ngga apa-apa deh. Nanti
malam aja ya telepon kamu. Kangen nih.” Kuketik sebaris
kalimat ini, lalu SEND.
Haha, ini adalah trikku agar ia mau menelponku. Karena ia sangat
tidak ingin kutelepon di malam hari.
Dan benar saja, dua menit kemudian ponselku berbunyi.
Dari dia.
“Hallo, Yang. Ih, kemana aja sih? Udah seminggu lebih kita engga
ketemu.”Aku menyambut panggilannya dengan suara manja. Ia pernah bilang, dia
suka padaku karena aku manja seperti kucing. Kau tahu, padahal yang sesungguhnya
seperti kucing itu dia. Ia suka jika kupeluk dan kubelai. Ia bilang, istrinya
sudah tidak sempat memesrainya karena selalu sibuk dengan berbagai organisasi
yang diikuti dan 3 perusahaan yang dikelolanya.
“Aku sibuk. Kau tahu kan, aku bukan pengangguran!” Dia menjawab
kalimatku dengan nada tegas.
Uh, tegas apaan. Dia sering menunduk-nunduk pada atasannya. Pada
cukong-cukong. Daaan, di kakiku. Tapi tentu aku harus berperan dengan baik kan?
Demi tagihan kartu kreditku yang sudah jatuh tempo.
“Iya, dong tau. Mosok Ayangku
pengangguran sih. Seindonesia juga kenal siapa kamu. Semalam kamu muncul di
wawancara di KosmoTV kan? Bahas undang-undang tenaga kerja kalau tidak salah
ya, Yang?”
“Kamu menonton acara itu?” Aku menangkap nada bangga dalam
suaranya.
“Yaiyalah. Seperti kata Ayang, aku harus tahu perkembangan dunia
politik tanah air, jadi Ayang bisa ajak aku diskusi. Begitu kan?”
“Nah, itu baru benar Trisha Cantik.”
“Huuu…mana bisa Trisha jadi cantik kalau engga perawatan ke salon.
Tapi mau ke salon engga punya duit.”
“Baru awal bulan aku kirimin duit 5 juta. Mosok sudah habis?”
“Iya, aku udah terima. Terima kasih Ayang. Tapi uangnya udah aku
belikan baju. Kita kan mau ke San Fransisco tanggal 18?”
“Loh, emangnya aku mengajak kamu?”
“Iyaaaaa. Kan Ayang sendiri yang bilang. Ayang berangkat dengan
rombongan kantor, nanti aku menyusul. Aku udah bikin visa, loh, Yang.”
“Aduh, aku lupa! Aku sudah membelikan tiket buat Diandra dan
Mamanya. Kami akan berangkat barengan rombongan.”
“Yaaa, Ayang koq gituuu? Aku sedih banget, Yang. Padahal aku udah
siap-siap. Udah cerita-cerita juga mau diajak pacarku ke San Francisco.”
“Apa! Kamu cerita sama siapa saja soal kita?”
“Idiiih, ngga kusebut namalah , Yang. Aku tahu. Aku harus menjaga
kredibitasmu di mata public. Lagian. Emangnya aku bodoh? Terus kalau sampai
MBak Dewi tahu, aku pasti dilabraknya. Aku ngga bisa ketemu kamu lagi. Padahal
aku udah cinta banget ama kamu.” Aku menambahkan sedikit suara sedih dan isakan
di ujung kalimatku. Sedikit saja. Tidak terlalu sedramatis di sinetron kan?
“Jangan sedih dong, Trisha Cantik. Maaf ya, aku benar-benar lupa
kalau sudah mengajakmu.”
“Terus visa yang sudah aku buat bagaimana?”
“Ya, sudah, nanti kita pergi lain kali, berdua, ya. Kali ini aku mau
ajak Diandra dulu. Sebentar aku transfer 20 juta, ya. Jadi kamu bisa ke Sogo berbelanja.”
Yess!
Tunggu dulu, aku harus tahan diri.
“20 juta? Tiket ke San Francisco saja berapa?”
“Jadi maumu berapa?”
“Aku kan sayaaaang banget pada Ayang. Aku ngga maulah merongrong
orang yang kusayangi. Aku terima berapapun yang Ayang kasih. Tapi Ayang jangan
juga jahat dong ama aku. Katanya sayang ama aku.”
“Baiklah. 30 juta. Nanti aku pulang dari San Francisco kutambahi.
Tapi selama aku pergi kamu jangan dugem. Jangan dekat temamu si Sisil yang
pakai shabu-shabu. Nanti kamu ketularan. Aku terseret-seret juga.”
“Si Sisil mah bodoh, Yang. Mau aja dibujuk pakai narkoba. Aku ngga
sebodoh itu. Kau tahu aku bersih kan?”
“Iya, sih. Justru karena itu aku sayang ama kamu.”
“Aku juga Cuma cinta ama Ayang. Ngga ada lelaki lain dihatiku.”
Pret! Dalam hatiku sendiri menertawai kalimatku. Tentu saja,
selama ia masih menjadi tambang uangku, aku tidak butuh lelaki lain. Selain
itu, aku hanya akan berhubungan intim dengan satu lelaki dalam satu rentang
waktu. Demi kesehatanku sendiri.
Berhubungan intim?
Yaiyalaah…
Lelaki mana yang mau mengeluarkan uang puluhan juta tiap bulan tanpa mendapat imbalan apa-apa? Dan imbalan yang bisa diberikan oleh perempuan apalagi jika bukan alat kelaminnya? Memangnya dia ayahku?
Lelaki mana yang mau mengeluarkan uang puluhan juta tiap bulan tanpa mendapat imbalan apa-apa? Dan imbalan yang bisa diberikan oleh perempuan apalagi jika bukan alat kelaminnya? Memangnya dia ayahku?
“Ok deh. Aku kerja dulu, ya. Nanti kutelepon lagi.”
“Yang, tunggu!” aku harus buru-buru menegaskan sebelum ia lupa
dengan berbagai urusannya. “Kapan mau transfer? Sekarang, yak an?” aku harus
mensetel kembali suara merayuku.
“Ok. Nih, aku sambil transfer.”
“Yang, kamu lupa kartu kreditku be;lum dibayar ya? Cuma 15 juta.”
“Ya ampuuunn.. Uang lagi!”
“Tapi debt collector udah nelponin aku terus, Yang. Nanti kalau
mereka sampai datang ke rumah, terus tahu aku sering didatangi kamu, gimana?”
“Baik. Aku bayar juga, sekarang.”
“Terima kasih, ya Yang. Kamu memang kekasihku yang paliiing baik.
Nanti malam ke rumah?”
“Mana bisa. Aku ada rapat koordinasi dengan kementerian. Mungkin
sampai malam.”
“Besok siang aja, kalau gitu. Gimana? Di Mahakam?”
“Engg…nanti kukabari deh.”
“Aku kangen, loh, Yang. Kamu engga kangen?”
“Iya. Iya. Udah dulu, ya. Aku ada tamu.”
“Ok, Sayangku. Pujaanku. Selamat bekerja. Hihi, jangan lupa
transfer dan bayar kartu kreditku, ya?”
“Iya. Iya.”
Byee.. Sayang.”
Aku menutup telepon dengan perasaan puas. Dan makin puas ketika
ponselku berbunyi karena ada sebuah notifikasi dari bank yang menyatakan ada
dana masuk sebesar 30 juta ke rekeningku.
Muuaaah, I luv you, Ayang Dewan.
Hemm, maksudku, I luv your money.
Hehe…